Forget Me Not - Bab 5

Forget Me Not - Bab 2

Bab 2 - First Goodbye

Iris matanya indah sekali.

Tentu saja Anna mengatakan pujian itu hanya dalam hati. Anna tersihir, terdiam sesaat, tengah mengagumi mata indah pria tersebut, dengan pupil cokelat tua yang begitu dalam. 

Lima detik berlalu.

"Maaf, maaf. Tadi aku mau membangunkanmu, kita sudah sampai di pemberhentian terakhir," ujar Anna sangat cepat.

Tangan Anna juga secara spontan menjatuhkan earphone di tangan kirinya dengan cepat.

"Tidak apa-apa. Terima kasih sudah membangunkanku. Tidurku tadi nyenyak sekali sampai tidak sadar kalau kereta sudah berhenti."

Pria itu tertawa manis dan renyah, serenyah biskuit manis yang Anna makan kemarin sore bersama Kate di kantor.

"Iya," sahut Anna pelan.

Anna buru-buru berdiri, mengambil ransel dan turun terlebih dahulu, seraya menyembunyikan wajah merah dan hangatnya saat tersipu malu.

Di stasiun, Anna bersembunyi di balik tiang, menunggu pria itu turun dari kereta. Secara diam-diam, Anna menyesuaikan langkahnya agar berada di jarak aman.

Di luar stasiun, bukannya langsung melakukan tugasnya ke Edinburgh, Anna malah terus mengikuti pria itu. Beban ransel yang lumayan berat membuat Anna kewalahan dengan langkah cepat pria yang diikutinya. 

Anna pun memaksa kakinya untuk berlari kecil agar tidak kehilangan jejak. Sekilas saja kehilangan konsentrasi, Anna pun kehilangan sosok pria itu. Kaki Anna berhenti mendadak, tertegun memandangi orang-orang yang berjalan di depannya, dan orang-orang yang melewatinya.

"Apa tujuan kita sama?" tanya sebuah suara.

Anna hampir terlonjak kaget, untung saja pondasi kakinya masih kuat ketika berhadapan tiba-tiba dengan pria itu, yang entah muncul dari mana.

"Kamu mau ke mana?" tanya pria yang diikuti Anna.

Anna memeriksa alamat penginapannya di ponsel.

Hati Anna mengeluh ketika mendapati alamat penginapannya di Edinburgh tidak bisa dijadikan sebagai alasan kelakuan konyolnya membuntuti pria tersebut, karena sekarang dirinya tengah berjalan menjauh dari penginapan yang sudah dipesankan oleh Brian.

"Kamu mau ke mana?" 

Bukannya menjawab pertanyaan pria itu, Anna justru melempar pertanyaan, sebuah ide berani muncul di kepalanya.

"Mau jalan-jalan di sekitar taman, mungkin aku akan mengambil beberapa gambar, lalu mencari makan malam, setelah itu mencari penginapan," jawab pria tersebut.

Tidak ada jalan lain, Anna terpaksa memutas otak, menciptakan skenario pendek untuk memulai misinya berkenalan dengan pria tersebut.

"Kamu belum mencari penginapan? Bagaimana kalau tidak ada yang kosong?"

Anna melemparkan pertanyaan konyol lainnya, dengan kondisi saat ini–yang bukan waktunya liburan, kemungkinan semua penginapan di Edinburgh penuh sangat mustahil, tetapi tidak menolak kemungkinan bisa terjadi.

"Berarti aku harus tidur di jalanan malam ini," jawab pria tersebut dengan nada santai.

Anna mencoba membalas tawa kecil pria tersebut dengan senyum tipisnya, mengurangi kegugupan.

"Namaku Anna."

Anna memperkenalkan diri, hatinya bergemuruh, heran dan bangga dengan keberaniannya mengajak orang lain berkenalan terlebih dahulu.

"Chakan. Nice to meet you, Anna."

Anna punya waktu bebas sampai besok, tugas utamanya di Edinburgh bisa menunggu. Meskipun Anna tidak tahu harus pakai strategi seperti apa agar tugasnya bisa berhasil.

"Mau jalan bersamaku?" ajak Chakan. "Aku mau jalan di sekitar kastil."

Ajakan menarik, tetapi melihat tujuan Chakan yang akan pergi ke kastil yang berada di sebuah bukit, nyali Anna ciut. Kekhawatiran Anna tergambar jelas di wajahnya, sangat mudah terbaca oleh Chakan.

"Sebelum itu, temani aku mencari penginapan dahulu, tidak apa-apa, kan?" tanya Chakan.

"Sepertinya tadi kamu bilang akan mencari penginapan di akhir."

Anna mencoba mengingatkan Chakan.

"Setelah dipikir-pikir lagi, repot juga kalau jalan sambil membawa ransel," sahut Chakan, lalu memeriksa ponselnya.

"Dekat sini ada beberapa penginapan," lanjutnya.

Anna mengekor, mengikuti Chakan masuk ke sebuah penginapan. Anna duduk di kursi yang ada di lobby, menaruh ranselnya di lantai, menunggu Chakan yang sekarang sedang bicara dengan seorang resepsionis.

"Untungnya masih ada satu kamar tersisa, meskipun baru bisa ditempati jam empat nanti. Kita juga bisa titip barang di sini."

Anna ikut menitipkan ranselnya di penginapan.

"Selamat menikmati perjalanan bulan madunya. Maaf sudah membuat menunggu, kamarnya akan kami siapkan sesegera mungkin," ujar resepsionis.

"Iya, terima kasih," sahut Chakan.

Wajah Anna memerah, sementara Chakan tertawa kecil.

"Kesalahpahaman seperti tadi sering sekali terjadi," ucap Chakan saat kembali ke jalan.

"Iya," sahut Anna lemah, terlalu banyak hal yang membuat jantungnya diuji hari ini, sejak bangun tidur dan terlambat pergi ke stasiun tadi pagi.

Udara dingin di luar segera menetralkan hawa panas di wajah Anna.

"Ini kali pertama aku ke sini," cerita Chakan. "Kamu sudah pernah ke sini?"

Kembali ke mode normal, Anna si pendiam baru akan bicara setelah diajak bicara terlebih dahulu.

"Ini kali keduaku ke Edinburgh," sahut Anna.

"Kamu liburan?"

"Bukan."

"Urusan kerja?" tebak Chakan.

"Iya."

"Sama."

Anna dan Chakan berjalan di sepanjang taman dengan pemandangan kastil di tebing batu. Langit mendung, tidak ada warna-warni bunga, tetapi suasana mistis yang indah melingkupi Edinburgh di musim gugur.

Anna tersihir oleh keindahan pemandangan di depan matanya, sementara Chakan sudah sibuk dengan kamera. Mereka tidak pergi ke kastil, tujuan Chakan memang bukan ke kastil tua dan bersejarah yang tetap megah berdiri di atas bukit itu.

Sembari menemani Chakan mengabadikan momen magis di sekitar Princes Street Garden, Anna mengirim pesan kepada Brian-rekan kerjanya di London, mengabarkan dirinya sudah sampai dengan selamat di Edinburgh. Kemudian kedua tangan Anna terangkat, ingin mengabadikan beberapa menit perjalanannya dalam bentuk video.

"Cantik."

Anna menoleh, Chakan berada satu langkah darinya, memperlihatkan hasil foto yang baru diabadikan.

"Tepat sekali aku memilih datang ke sini saat musim gugur. Pemandangannya cantik, tapi cantiknya beda, apa ya ... magis."

Anna hampir salah tingkah mendengar kata 'cantik' yang dilontarkan oleh Chakan sebelumnya. Untung saja Chakan segera meluruskan kesalahpahaman yang diciptakan pikiran Anna sendiri. Jika tidak Anna sudah akan salah tingkah brutal. Anna kemudian menahan tawanya agar tidak pecah ketika mendengar suara gemuruh dari perut Chakan.

"Roti isi tadi sepertinya tidak cukup untuk memuaskan rasa laparku yang sangat memalukan, ha-ha-ha."

Chakan terbahak, mentertawakan perutnya yang bersuara tidak bisa melihat suasana.

"Sebentar." Chakan mengeluarkan ponselnya, mengetikkan beberapa kata kunci di mesin pencarian.

"Mau makan di sini?" tanya Chakan, matanya mengarah ke layar ponsel.

Anna mendekat, melihat peta digital di tangan Chakan.

"Hanya tujuh menit jalan kaki dari sini," lanjut Chakan.

"Boleh," sambut Anna.

Anna dan Chakan menikmati makan malam mereka yang lebih cepat di sebuah kafe dengan pemandangan spektakuler kastil di atas bukit, bertemankan gerimis yang mulai turun.

“Edinburgh waktu senja sepertinya cocok jadi obat untuk hati-hati yang terluka,” ucap Chakan.

Anna mengangguk, mengiyakan ucapan Chakan.

"Kamu dari mana?" tanya Anna seraya matanya mengikuti arah bidikan lensa kamera Chakan.

"Dari Amsterdam aku menyeberang ke London, lalu langsung ke sini," jawab Chakan tanpa mengalihkan pandangannya dari objek foto.

Anna mengangguk, meskipun maksud pertanyaan Anna menanyakan asal negara Chakan.

"Perjalananku di sini akan jadi penutup perjalanan panjangku di Eropa tahun ini, sepertinya, he-he-he," kekeh Chakan setelah meletakkan kembali kameranya.

"Kamu asal dari mana?" 

Anna memperbaiki pertanyaannya.

"Singapura. Aku kerja sebagai photografer."

Tanpa bertanya, Anna mendapatkan jawaban tentang identitas Chakan. Sambil menikmati makan malam, Anna diizinkan Chakan melihat hasil tangkapan kamera ponsel, juga dari kamera yang bekerja keras beberapa menit lalu.

"Aku juga pernah jalan-jalan ke Eropa, tapi aku hanya mengunjungi beberapa tempat," cerita Anna.

"Dengan siapa? Bareng keluarga?"

"Sendiri." Kepala Anna repleks menggeleng.

"Sendiri?" seru Chakan, meletakkan garpu di tangan kanannya ke piring.

Anna dan Chakan saling bertatap beberapa detik.

"Hebat sekali, kamu wanita ...."

"Maksudku bukan berarti seorang wanita tidak bisa melakukan perjalanan sendiri, kamu ...."

Anna baru kali ini-setelah berkenalan beberapa jam lalu, melihat Chakan bersikap salah tingkah, mungkin karena salah bicara dan merasa tidak enak, membuat pria itu jadi bicara terputus-putus.

"Kamu luar biasa," puji Chakan, menutup kalimat panjangnya yang sempat terjeda.

Gerimis tidak memperpanjang tugasnya, berhenti tepat saat piring makanan Anna dan Chakan kosong. Keduanya kembali ke penginapan. Anna mengambil ranselnya yang dititipkan di lobby, resepsionis yang bertugas telah berganti.

"Mau aku antar?" tawar Chakan.

"Tidak, terima kasih," tolak Anna.

Anna tidak mau membuat pria yang baru dikenalnya kelelahan, setelah mendengar cerita Chakan yang baru saja tiba dari perjalanan panjang menaiki kereta mulai Amsterdam.

"Goodbye," ucap Chakan.

"Goodbye."

Anna membalas kalimat perpisahan Chakan dengan setengah hati. Terasa ada yang hilang, makin terasa saat langkah Anna menjauh dari Chakan. Waktu terlalu cepat berlalu, baru sebentar Anna mengagumi wajah Chakan.

"Jangan konyol, Anna."

Anna terkekeh, mentertawakan kekonyolannya, juga kisah percintaannya yang sangat menyedihkan.

"Atau besok aku pergi ke penginapan Chakan saja, setelah tugasku selesai. Bersikap konyol sekali-sekali kan tidak masalah."

Wajah Anna kembali cerah setelah memberi harapan kepada dirinya sendiri, yang tidak tahu apakah bisa terwujud atau tidak. Namun, Anna selalu suka berharap, karena efek bahagia dari 'berharap' bisa memberikan suntikan semangat.

Baca selengkapnya di sini:

Forget Me Not by Mu'ala

Written by Mu'ala

Komentar