Forget Me Not - Bab 5

 


Tatapan pria itu hangat, sangat hangat, tetapi begitu buruk untuk kesehatan jantung Anna. Bibir Anna tersenyum kikuk membalas senyum lebar dari pria yang diperhatikannya.

Dalam hati, Anna merutuki rasa penasarannya yang suka kelewat batas. Apalagi sekarang, pria lanjut usia yang ada tepat di sebelah pria tersebut juga ikut-ikutan tersenyum kepadanya.

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Anna terbebaskan dari rasa canggung. Kalau tidak memikirkan dirinya akan dianggap aneh, Anna pasti sudah melayangkan ucapan terima kasih bertubi-tubi kepada remaja yang duduk di sampingnya. Kehadiran remaja perempuan tersebut bisa dijadikan Anna sebagai penghalang untuk tidak mencuri pandangan lagi ke arah pria tadi.

"Dari mana?" tanya Anna, mencoba menghapus kegugupan dalam hati.

Remaja itu terdiam beberapa detik.

Anna menduga remaja tersebut tidak akan membalas pertanyaan penghilang kikuknya. Namun, tanpa diduga, remaja perempuan itu merespons kalimat Anna.

"Dari cafe corner. Aku belum sempat sarapan sebelum berangkat," cerita remaja perempuan itu.

Satu kalimat pembuka dari Anna berhasil membuka percakapan panjang, remaja perempuan itu ternyata tidak sependiam yang Anna tebak. Topik percakapan banyak diisi dengan buku yang dibaca remaja perempuan tadi.

Dengan semangat berapi-api, remaja perempuan yang belum sempat diketahui Anna namanya itu memberikan bocoran cerita dari novel yang dibacanya.

Anna mengangguk-angguk, menjawab sesekali untuk merespons antusias remaja perempuan itu bercerita.

Anna sudah pernah membaca buku di tangan remaja perempuan itu, versi terjemahan, yang dibelinya di toko buku bekas, di usia 26 tahun.

Ada rasa sedikit iri di hati Anna ketika mengetahui kalau remaja perempuan yang ditebaknya berusia antara 15-17 tahun itu sudah membaca novel misteri tersebut, sementara dirinya baru membaca di usia lebih dari seperempat abad.

Rasa haus akan buku-buku membanjiri Anna, yang kemudian bertekad ingin membaca lebih banyak buku di sela-sela pekerjaannya nanti.

Aku akan berburu buku saat di Edinburgh nanti, janji Anna dalam hati kepada dirinya sendiri.

Anna mengarahkan remaja tersebut untuk terus bicara. Biasanya, Anna tidak akan membuat percakapan panjang seperti ini. Akibat ingin menghindari rasa canggung tadi, Anna jadi terjebak dalam obrolan tanpa henti dengan remaja perempuan tersebut.

Anna membasahi tenggorokannya dengan air minum yang dibawanya, bahkan hanya sebagai pendengar pun Anna jadi haus. Remaja perempuan di samping Anna ikut minum dari paper cup yang dibawanya dari cafe corner.

Anna kira remaja perempuan tersebut akan menyudahi percakapan, ternyata belum. Anna tidak masalah, karena hal yang dibahas berkaitan dengan buku. Ditambah lagi Anna mendapatkan beberapa referensi judul novel yang belum pernah dibacanya.

"Sayang sekali, hahhh," ujar remaja perempuan tersebut.

Anna mengerutkan dahi.

"Aku harus turun di sini," lanjutnya. "Terima kasih untuk obrolan tentang bukunya."

Anna mengangguk. 

"Iya, hati-hati di jalan," pesan Anna sebelum melepas kepergian remaja perempuan tersebut.

"Sampai bertemu lagi."

Mata Anna mengikuti pergerakan remaja tersebut sampai hilang dari pandangannya. Anna memeriksa papan nama pada stasiun tempat kereta yang ditumpanginya berhenti sejenak.

"York," ucap Anna, membaca tulisan yang tertera pada plang nama.

Ketika kereta mulai bergerak, Anna bisa melihat remaja perempuan tadi melambaikan tangan ke arahnya. Anna membalas lambaian tangan itu dengan cepat secepat kereta yang bergerak kembali.

"Sampai bertemu lagi ... gadis yang belum kutahu namanya," ucap Anna pelan, tersenyum tipis, terpantul di kaca jendela.

Anna mengambil kembali buku tipisnya, sebagai ganti teman perjalanan yang sudah meninggalkannya lebih dahulu.

Baru membaca separuh buku di tangannya, kereta kembali berhenti, Anna membaca keterangan nama stasiun.

"Darlington," gumamnya seraya menaruh jari telunjuknya pada halaman buku yang sudah dibacanya.

"Have a nice trip, Lady. Goodbye," ucap pria tua yang duduk dengan pria yang menarik perhatian Anna tadi.

"Goodbye," balas Anna spontan.

Tiba-tiba saja hati Anna berharap pria yang sering diliriknya tadi tidak ikut turun di stasiun. Harapan Anna terkabul.

Anna refleks menghela napas lega mendapati pria yang mencuri pikirannya tidak ikut turun bersama pria yang lebih tua tadi. Anna buru-buru mengalihkan pandangannya ke buku agar tidak tercipta suasana canggung lagi saat melirik ke arah pria tersebut.

Bacaan Anna sudah lebih dari setengah buku saat kereta melambat. Anna pelan-pelan mengintip pergerakan pria itu, yang sekarang sedang menyantap roti lapis. Melalui bayangan samar yang terpantul di kaca jendela, Anna mencoba melihat pergerakan pria tersebut.

Tidak bisa diharapkan, Anna pun terpaksa menoleh saat kereta kembali bergerak meninggalkan stasiun, takut kehilangan pria tersebut.

Saat menoleh, Anna disambut senyum manis dari pria tersebut.

Ya Allah, masyaallah, jerit Anna dalam hati.

“Mau ke mana?” tanya pria tersebut.

“Ed-Edinburgh,” jawab Anna terbata.

Pria tersebut mengangguk.

"Mau?" tawarnya seraya mengulurkan roti lapis yang masih terbungkus. "Aku punya dua."

"Tidak, terima kasih."

Pria itu kembali mengangguk, roti lapis di tangannya sudah habis. Di mata Anna gerakan pria itu seperti sebuah iklan air mineral, pandangan Anna telah terpaku. Pria itu menutup botol air minumnya, menyandarkan badan ke kursi, lalu menoleh lagi ke arah Anna.

“Mataku baru bisa istirahat sekarang, tadi mataku sudah mengantuk, tapi terus diajak bicara oleh pria tua tadi."

Pria tersebut terkekeh, lalu menguap pelan.

Anna membalas dengan senyum tipis, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Aku mau tidur sebentar.”

Anna mengangguk saat pria tersebut memasang earphone, Anna tetap mengarahkan matanya sampai pria itu menutup mata, mulai tertidur dalam kereta yang tetap bergerak cepat menuju Edinburgh. 

Di gerbong yang ditempati Anna hanya tersisa empat penumpang, termasuk Anna dan pria tersebut, dua penumpang lain-sepasang suami istri-duduk di bangku paling depan. Anna dapat mengagumi wajah pria itu dengan leluasa sekarang, tanpa pengawasan dari siapa pun.

Anna menahan kantuknya, tidak berniat tidur, tidak mau kehilangan sosok pria yang posisi kepalanya sekarang telah berpindah, bersandar di kaca jendela. Jika pria itu nanti turun di salah satu pemberhentian, Anna ingin melihat pria tersebut sampai akhir, untuk terakhir kalinya. Selain itu, Anna juga tidak mau melewatkan pemandangan sepanjang perjalanan yang sesekali melewati sungai, juga pantai. Buku yang dibaca Anna telah berganti dengan ponsel. Anna sibuk mengabadikan perjalanannya dengan mengambil video.

"Lisa pasti suka melihat ini," ujar Anna. 

"Apalagi kalau dia bisa melihat langsung."

Bibir Anna otomatis tersenyum lebar, mengingat keponakan pertamanya, rivalnya dalam keluarga–saat posisinya sebagai anak bungsu tergeser oleh cucu pertama.

"Aku harus kerja keras, menabung yang cukup agar mereka bisa jalan-jalan ke sini juga."

Anna teringat dengan keponakan-keponakannya, temannya di rumah, membunuh kesepiannya setelah kedua orang tuanya tiada. Anna menggeleng, mengusir perasaan haru yang kalau dibiarkan akan membuatnya menangis.

Anna meninggikan kepalanya, memeriksa pria muda tersebut, mengulum senyum, tergakum-kagum dengan kemiripan pria itu dengan seseorang. Perjalanan panjang Anna akan segera berakhir saat kereta melambat dan tulisan Edinburgh Waverley terlihat. Anna membereskan barang-barangnya, memasukan kembali ke tas selempang. Anna berdiri untuk menurunkan ransel, lalu langkahnya terhenti melihat kedua mata pria itu masih terpejam. Pemberitahuan pemberhentian terakhir kereta berkumandang, tetapi dengan earphone di telinga, Anna yakin pria itu tidak mendengar. Anna meletakkan kembali ranselnya. Tangan Anna ragu menyentuh pundak pria tersebut. Setelah ragu beberapa detik, Anna mendekat, duduk di kursi, menarik salah satu earphone pria itu.

Samar-samar, bersaing dengan pemberitahuan dalam kereta yang terus berkumandang, Anna merasa tidak asing dengan lagu yang didengarkan pria tersebut. Didorong oleh rasa penasaran, tangan Anna dengan sendirinya meletakkan earphone tersebut lebih dekat ke arah telinganya yang terlindungi hijab.

Could I be the one you talk about in all your stories?

Mata Anna melebar mendengar lagu yang masuk ke playlist-nya saat bekerja itu. Ketakjuban Anna tidak berlangsung lama, pengumuman pemberitahuan tujuan terakhir kereta kembali bergema.

Mata Anna teralihkan beberapa detik ke layar kecil yang terpasang di langit-langit kereta, tidak sadar kalau pria yang coba dibangunkannya sudah membuka mata.

Can I be the one .... Oh, can I, can I be him?

Anna menoleh, matanya tidak bisa menghindar dari tatapan maut pria itu.

.

.

.

Baca semua bab lengkap Forget Me Not di Valenashzona

Komentar