- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 1 - Hangat atau Maut
Tatapan pria itu hangat, sangat hangat, tetapi begitu buruk untuk kesehatan jantung Anna. Bibir Anna tersenyum kikuk membalas senyum lebar dari pria yang diperhatikannya. Dalam hati, Anna merutuki rasa penasarannya yang suka kelewat batas. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Anna terbebaskan dari rasa canggung.
Tiga puluh menit yang lalu ....
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Kalimat ajaib itu muncul secara otomatis dalam benak Anna, kalimat yang selama ini selalu menyemangati Anna untuk tetap percaya pada mimpi-mimpinya. Anna membalas senyum hangat seorang pria yang terpisah jalan kecil dalam gerbong kereta.
Anna segera kembali bersandar di kursi, jantungnya tiba-tiba mendapatkan serangan. Senyum hangat seorang pria menjadi penyebab serangan pada organ jantungnya.
Tidak mungkin salah, Anna juga tidak mungkin berhalusinasi sekarang. Anna melirik ke samping, pandangannya tertuju pada pria dengan kulit sawo matang tersebut, yang sekarang tengah asyik berbincang dengan penumpang lain.
Anna memegangi dadanya, memantrai jantungnya agar tenang. Tidak mudah, pria berambut hitam lebat tadi telah menyedot perhatian Anna. Pikiran Anna terseret ke masa lalu, saat dirinya sedang dilanda kegilaan pada sosok pria yang dilihatnya dari gambar.
Kegilaan panjang Anna berawal dari berselancar di internet. Anna terpesona dengan tatapan bersahabat dan hangat dari seorang pria dalam sebuah potret. Anna pun menjadikan sosok pria tersebut sebagai 'tokoh khayalannya' saat membayangkan sebuah adegan novel.
"Tidak, jangan sekarang."
Anna menggeleng pelan, beberapa adegan dari novel favoritnya mendadak akan membuka pentas dalam pikirannya. Anna menolehkan kepalanya ke arah jendela, buku yang dikeluarkannya dari tas selempang tadi sudah tidak menarik lagi untuk dibaca.
Anna ingin melirik ke arah pria itu sekali lagi. Jantungnya kembali diuji, Anna terlonjak pelan saat matanya bersitatap dengan pria tersebut. Lagi, untung saja ada yang menyelamatkan Anna dari rasa canggung. Seorang remaja wanita mengisi kursi penumpang di sebelahnya, membantu Anna mengalihkan pikiran dari sang pria.
"Sayang sekali," ujar remaja perempuan tersebut.
Anna mengerutkan dahi.
"Aku harus turun di sini," lanjutnya. "Terima kasih untuk obrolan seru tentang bukunya."
Anna mengangguk.
"Iya, hati-hati di jalan," pesan Anna sebelum melepas kepergian remaja perempuan tersebut.
"Sampai bertemu lagi."
Mata Anna mengikuti pergerakan remaja tersebut sampai hilang dari pandangannya. Anna memeriksa papan nama pada stasiun tempat kereta yang ditumpanginya berhenti sejenak.
"York," ucap Anna, membaca tulisan yang tertera pada plang nama.
Ketika kereta mulai bergerak, Anna bisa melihat remaja perempuan tadi melambaikan tangan ke arahnya. Anna membalas lambaian tangan itu dengan cepat secepat kereta yang bergerak kembali.
"Sampai bertemu lagi ... gadis yang belum kutahu namanya," ucap Anna pelan, tersenyum tipis, terpantul di kaca jendela.
Anna mengambil kembali buku tipisnya, sebagai ganti teman perjalanan yang sudah meninggalkannya lebih dahulu.
Baru membaca separuh buku di tangannya, kereta kembali berhenti, Anna membaca keterangan nama stasiun.
"Darlington," gumamnya seraya menaruh jari telunjuknya pada halaman buku yang sudah dibacanya.
"Have a nice trip, Lady. Goodbye," ucap pria tua-penumpang yang duduk dengan pria yang menarik perhatian Anna tadi.
"Goodbye," balas Anna spontan.
Tiba-tiba saja hati Anna berharap pria yang sering diliriknya tadi tidak ikut turun di stasiun. Harapan Anna terkabul. Anna refleks menghela napas lega mendapati pria yang mencuri pikirannya tidak ikut turun bersama pria yang lebih tua tadi.
Anna buru-buru mengalihkan pandangannya ke buku agar tidak tercipta suasana canggung lagi saat melirik ke arah pria tersebut.
Bacaan Anna sudah lebih dari setengah buku saat kereta melambat. Anna pelan-pelan mengintip pergerakan pria itu, yang sekarang sedang menyantap roti lapis. Melalui bayangan samar yang terpantul di kaca jendela, Anna mencoba melihat pergerakan pria tersebut.
Tidak bisa diharapkan, Anna pun terpaksa menoleh saat kereta kembali bergerak meninggalkan stasiun, takut kehilangan pria tersebut.
Saat menoleh, Anna disambut senyum manis dari pria tersebut.
Ya Allah, masyaallah, jerit Anna dalam hati.
“Mau ke mana?” tanya pria tersebut.
“Ed-Edinburgh,” jawab Anna terbata.
Pria tersebut mengangguk.
"Mau?" tawarnya seraya mengulurkan roti lapis yang masih terbungkus. "Aku punya dua."
"Tidak, terima kasih."
Pria itu kembali mengangguk, roti lapis di tangannya sudah habis. Di mata Anna gerakan pria itu seperti sebuah iklan air mineral, pandangan Anna telah terpaku. Pria itu menutup botol air minumnya, menyandarkan badan ke kursi, lalu menoleh lagi ke arah Anna.
“Mataku baru bisa istirahat sekarang, tadi mataku sudah mengantuk, tapi terus diajak bicara oleh pria tadi."
Pria tersebut terkekeh, lalu menguap pelan.
Anna membalas dengan senyum tipis, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Aku mau tidur sebentar.”
Anna mengangguk saat pria tersebut memasang earphone, Anna tetap mengarahkan matanya sampai pria itu menutup mata dan mulai tertidur dalam kereta yang tetap bergerak cepat menuju Edinburgh.
Di gerbong yang ditempati Anna hanya tersisa empat penumpang, termasuk Anna dan pria tersebut, dua penumpang lain-sepasang suami istri-duduk di bangku paling depan. Anna dapat mengagumi wajah pria itu dengan leluasa sekarang, tanpa pengawasan dari siapa pun.
Anna menahan kantuknya, tidak berniat tidur, tidak mau kehilangan sosok pria yang posisi kepalanya sekarang telah berpindah, bersandar di kaca jendela. Jika pria itu nanti turun di salah satu pemberhentian, Anna ingin melihat pria tersebut sampai akhir, untuk terakhir kalinya.
Anna meninggikan kepalanya, memeriksa pria muda tersebut, mengulum senyum, tergakum-kagum dengan kemiripan pria itu dengan seseorang. Perjalanan panjang Anna akan segera berakhir saat kereta melambat dan tulisan Edinburgh Waverley terlihat. Anna membereskan barang-barangnya, memasukan kembali ke tas selempang.
Anna berdiri untuk menurunkan ransel, lalu langkahnya terhenti melihat kedua mata pria itu masih terpejam. Pemberitahuan pemberhentian terakhir kereta berkumandang, tetapi dengan earphone di telinga, Anna yakin pria itu tidak mendengar. Anna meletakkan kembali ranselnya. Tangan Anna ragu menyentuh pundak pria tersebut. Setelah ragu beberapa detik, Anna mendekat, duduk di kursi, menarik salah satu earphone pria itu.
Samar-samar, bersaing dengan pemberitahuan dalam kereta yang terus berkumandang, Anna merasa tidak asing dengan lagu yang didengarkan pria tersebut. Didorong oleh rasa penasaran, tangan Anna dengan sendirinya meletakkan earphone tersebut lebih dekat ke arah telinganya yang terlindungi hijab.
Could I be the one you talk about in all your stories?
Mata Anna melebar mendengar lagu yang masuk ke playlist-nya saat bekerja itu. Ketakjuban Anna tidak berlangsung lama, pengumuman pemberitahuan tujuan terakhir kereta kembali bergema. Mata Anna teralihkan beberapa detik ke layar kecil yang terpasang di langit-langit kereta, tidak sadar kalau pria yang coba dibangunkannya sudah membuka mata.
Can I be the one .... Oh, can I, can I be him?
Anna menoleh, matanya tidak bisa menghindar dari tatapan maut pria itu.
Baca selengkapnya di sini:
Written by Mu'ala
Komentar
Posting Komentar