How
Time Spent Doing Nothing Changes Everything ....
Selama masa pandemi, kata bosan dan jenuh sering hinggap,
apalagi kalau harus kerja di rumah. Menjadi bosan seperti sudah menjadi makanan
sehari-hari, tetapi kita tentu bisa menjadikan kebosanan yang kita alami memunculkan
sesuatu yang terpendam dalam diri. Ada yang sama? Aku sendiri selama pandemi akhirnya
bisa memulai hal yang selama ini selalu kutunda-tunda.
Salah satu cara untuk menghilangkan bosan selama berkegiatan di rumah adalah dengan membaca buku, terutama aku yang
sudah menumpuk buku sejak tahun 2019 dan menunda membaca hanya karena alasan
kesibukan kerja.
Buku pertama yang aku baca adalah Bored and Brilliant oleh Manoush
Zomorodi. Judul bukunya yang bikin penasaran dan sangat relate dengan perasaan bosan yang aku
alami menjelaskan alasan kenapa aku memilih buku ini. Aku sudah terlanjur bosan
dengan kegiatan yang hanya bisa aku lakukan selama di rumah sepanjang 2020.
Aku memerlukan waktu satu bulan untuk
menghabiskan buku setebal 304 halaman ini. Waktu rata-rata yang biasanya aku
habiskan untuk membaca buku nonfiksi. Dari membaca buku ini aku diberikan
tawaran ‘make choices about how we spend
our time’.
My laptop and phone
know me better than anyone else. They know what I like and how to grab my
attention.
Ini aku sadari saat ponselku seolah
bisa memberikan apa yang aku mau, ponselku seolah tahu apa yang aku butuhkan,
dan panggilan-panggilan ini selalu datang tiap hari, setiap waktu. Bahkan saat
akan tidur pun aku masih membuka ponsel untuk sekadar menyetel alarm agar tidak
telat bangun keesokan harinya.
Rasa lelah dengan aktivitas dan rutinitas
membawaku pada ponsel yang menawarkan kesenangan yang ‘tampak menyenangkan’,
tetapi akhirnya menjadi kecanduan baru yang mulai menggerogoti siklus asli
tubuhku sebagai manusia. Sebut saja bagaimana akhirnya waktu tidurku berkurang
karena harus menyesuaikan diri setelah melepas ponsel yang aku gunakan
seharian.
Berbicara tentang bukunya sendiri,
dalam buku ini ada tujuh tantangan yang bisa dipertimbangkan untuk dicoba. Dari
semua tantangan itu aku hanya mencoba empat tantangan, yaitu:
- Observe Yourself. Tantangan ini mengajak untuk
mengawasi atau mengamati jejak digital harian, seberapa lama kita menghabiskan
waktu dalam sehari bersama ponsel.
- Photo-free day. Rasanya gatel banget kalau enggak
ngambil foto, apalagi saat aku berhadapan dengan makanan cantik. Pernah dong
dahulu dengar kalimat ini ‘jangan ganti kebiasaan berdoa sebelum makan dengan
berfoto sebelum makan’. Miris sekali, bukan? Namun, pada kenyataannya, paling
tidak kita akan mengambil satu foto makanan yang akan dimakan dan mengunggahnya
sebagai status harian.
- Delete that app: take the one app you
can’t live without and trash it. Ada yang berani hapus aplikasi yang mengambil terlalu banyak
waktu kita dalam sehari? Bagiku, aplikasi-aplikasi media sosial-lah yang
mengambil banyak waktuku, termasuk waktu istirahat. Langkah pertama yang aku lakukan setelah
membaca tantangan ini adalah menghapus beberapa aplikasi media sosial yang ada
di ponselku. Awalnya kukira akan susah, ternyata aku masih bisa hidup walaupun
tidak membuka aplikasi media sosialku selama seminggu. Seperti yang disinggung
dalam buku ini … don’t worry, you’ll
live. Minggu berikutnya aku masih berlatih untuk tidak terlalu sering
bermain media sosial, dan hingga review ini aku tulis, aku merasa baik-baik
saja setelah menghapus permanen dua akun media sosialku.
- The bored and brilliant challenge: in
a culmination off all the exercises, you’ll use your new powers of boredom to
make sense of your life and set goals. Buatlah dirimu bosan
dan akan kau temukan cara brilliant untuk keluar dari rasa bosan itu. Kata brilliant sepertinya sesuatu yang wah
sekali, tetapi di sini tidak harus selalu menjadi luar biasa untuk menjadi
seseorang yang brilliant. Tindakan
kecil nan sederhana sudah lebih dari cukup dan sangat brilliant untuk diriku yang terlanjur merasa bosan. Itulah kenapa kita
perlu merasakan kebosanan, untuk menjadi brilliant
versi diri sendiri.
Setelah tuntas membaca buku ini dan
mengikuti beberapa tantangan yang ditawarkan, ada beberapa catatan yang kudapat
dari buku ini;
- Mengingatkan
dengan rasa syukur. Buku ini mengingatkan lagi agar aku selalu bersyukur,
bersyukur atas apa yang ada dalam hidupku.
- Memberikan
opsi untuk lepas dari jerat dunia maya. Akun media sosial yang selama ini sudah
menarik perhatianku terlalu banyak, membuatku malah membandingkan diri sendiri
dengan orang lain. Dan langkah yang bisa aku lakukan adalah dengan membatasi
dan mengontrol diri dari menggunakan media sosial.
- Mengusulkan
interaksi yang lebih bijak dengan ponsel dan teknologi. Ponsel dan teknologi
bisa membantu kita mempermudah dalam beberapa hal, tetapi tidak untuk semua
hal. Aku akhirnya menyadari tidak perlu merasa memiliki ikatan batin dengan
ponselku.
Jika kamu ingin mencari perspektif
lain dari pengalaman orang lain bersama ponsel dan teknologi, aku sangat menyarankan
buku ini. Dalam buku ini bukan saja memuat pendapat si penulis, tetapi juga
memaparkan pengalaman para pendengar acara
podcasts yang ia bawakan. Buku ini
aku sarankan untuk kamu yang merasa sangat ketergantungan dengan ponselmu dan tentu saja apa yang disampaikan dalam buku
ini tidak untuk menghakimi kehidupanmu yang terlanjur menjadi sibuk dan
membuatmu lelah.
"The problem is not technology, it’s how we’re using it."
Berikut kutipan lain dari buku ini
yang aku pilih untuk menambah perjalananku mengumpulan kutipan-kutipan
inspirasi dari buku yang aku baca;
"It’s time for us to turn and rethink our attention away from our devices
and back toward the people with whom we went to have a relationship."
"We have to learn to live in a world where anyone can have an opinion
about anything you’re doing."
Selamat beristirahat, semoga aku dan
kamu bisa kembali ke ritme asli diri kita yang sempat teralihkan oleh ‘dunia
maya’ yang terlalu semu jika tidak digunakan dengan bijak.
Written by Mu'ala
Komentar
Posting Komentar