Inspirasi Menata Interior Meja Perapian untuk Menyambut Lebaran

How Poetry Bring Me Happiness

 Aku, Buku, dan Perjalanan Beradaptasiku

Sungguh, Kau Boleh Pergi - Tere Liye

Sabtu sore yang cerah itu dia pergi dengan damai. Menerbitkan satu lagi buku bertema rindu yang akan menemani hari-hariku. Dia pergi dengan tersenyum, menyisakan banyak pelajaran yang baru sedikit bisa kupahami. Ada kesabaran panjang yang ia ajarkan, kesabaran yang masih kulatih selama beradaptasi dengan keadaan saat ini. Bentangan benang kerinduan untuknya kujalin dengan bentangan benang panjang kerinduanku pada Ibu.

“Adek temani Ayah dulu ya, lanjut sekolahnya nanti dulu.”

Ada rasa kurang menerima yang aku rasakan saat keinginan terbesarku ditahan oleh sosok paling kusayang. Namun, lambat laun semua bisa kuterima dan kujalani, karena kata sabar selalu ia tanamkan padaku.

“Adek bisa lanjut sekolah sekarang, belajar apa yang ingin Adek mau, tetapi kalau bisa pelajari ilmu yang bisa bermanfaat untuk orang lain, yang bisa membantu orang lain.”

Kalimat itu dia lontarkan beberapa bulan sebelum kondisinya makin menurun, dan saat wujudnya benar-benar pergi, aku harus menghadapi dunia yang tidak dengan mudah menerimaku mewujudkan mimpi-mimpi yang dia minta tunda beberapa tahun yang lalu. Dia pergi saat dunia kehadiran makhluk super kecil yang sangat ditakuti. Dia pergi saat aku harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dibuat untuk meredam dampak buruk makhluk super kecil itu.

Dia pergi saat aku masih merasakan kerinduan yang sesekali datang menyisakan sesak tanpa permisi atas kepergian Ibu yang sudah terlampau lama. Bagaimana aku bisa terus menggenggam mimpi-mimpiku saat dua sosok motivasiku telah pergi dan hanya menghadirkan rindu?


 “Sembuh … ketika kita bisa mengingat sesuatu yang menyakitkan dengan detail, tapi tidak terasa menyakitkan lagi. Belum sembuh … ketika kita tidak bisa lagi mengingat sesuatu itu dengan detail, tapi entah kenapa tetap terasa sesak menyakitkan.”

 

Aku belum sembuh. Beberapa bulan awal tahun 2020 aku masih belum terbiasa dengan hari-hari yang kulalui tanpanya. Namun, semua memang harus berjalan, ada perubahan-perubahan yang harus bisa aku terima, ada hal-hal yang harus kupaksa untuk bisa terbiasa dengan aliran takdir. Aku terlalu fokus pada kesakitan yang kurasakan saat itu. Setelah satu tahun berlalu, aku tidak tahu apakah aku sudah sembuh atau belum. Sekarang aku menyibukkan diri dengan menambah kata sabarku, bersabar dengan keadaan sekarang yang membuatku mempersiapkan lebih matang mimpi yang aku bangun sejak kecil.

 

“Hujan pasti reda. Selama apa pun dia hendak turun. Pasti tiba masanya habis. Dan menyisakan basah di halamannya. Hujan pasti pergi. Dan sungguh, kau boleh pergi.”

 

Aku tidak tahu kapan hujan benar-benar akan berlalu, dan kapan akan mampir lagi. Yang aku tahu, hujan akan menyisakan tempias, basah yang terasa menyesakkan. Pengalaman menghadirkan emosi yang tidak bisa selalu kukendali, dan emosi itu lama-kelamaan hanya akan menenggelamkan, meninggalkanku pada jerat masa lalu, padahal aku sendiri sadar kalau waktu tidak kenal menunggu.

Mungkin akan panjang, tetapi aku akan berusaha untuk bisa beradaptasi dengan hari-hari yang akan kulalui. Beradaptasi seperti kebanyakan yang harus dilakukan orang saat ini. Proses adaptasi bukanlah proses instan. Saat semua terasa lambat dan aku lupa untuk bersyukur atas semua kehidupan yang telah Tuhan kasih, ada banyak pengingat yang datang, salah satunya melalui buku-buku yang aku baca. Dan aku bersyukur, kecintaan akan ilmu dan buku yang diberikan oleh kedua orang tua dan saudara-saudaraku tidak membuatku menjadi mayat hidup di tengah kegelisahan dunia dalam menghadapi pandemi saat ini.

 Sampai saat itu tiba, saat dua sosok yang kurindukan mengatakan ….


"Ayo, Kita Pulang."

Kata menunggu dan bersabar yang aku latih akan berakhir hari itu. Proses adaptasiku selesai. Hari di mana aku akan pulang, menemui kebahagiaan yang membekaskan tawa dan air mata.

   “Sometimes a delay in your plan is God’s Protection.”

Sebuah kutipan yang entah kucomot dari mana, aku melihat catatan kutipan itu pada jurnal kecilku. Menuangkan kebisingan dalam kepala pada deretan panjang kata menjadi terapi lain selama masa pandemi dan kehidupan mandiriku. Aku tidak menyangka dengan menuliskan kutipan-kutipan dari buku-buku yang kubaca menjadi sebuah terapi yang menghadirkan motivasi baru yang kukira sudah hilang saat Sabtu sore yang cerah itu. Dan dari momen kepergianlah itulah aku bisa menemukan kebahagiaan dari puisi.

Terima kasih Tuhan … untuk kehidupan yang masih menemaniku. Terima kasih untuk orang-orang di sekitarku yang selalu memberikan kekuatan di masa penuh perubahan saat ini. Terima kasih buku … untuk motivasi-motivasi luar biasa untuk terus bertahan di dunia yang makin tua ini. Terima kasih untuk kalian yang berada di balik buku, terutama untuk penerbit Gramedia Pustaka Utama, yang tanpa kalian aku tidak bisa menggenggam dan membaca kumpulan sajak Sungguh, Kau Boleh Pergi dari Tere Liye ini.


Written by Mu'ala

Komentar

  1. katakata Tere Liye emang bisa buat healing ya kak. mau juga baca bukunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap, Kak. Dari novel-novelnya pun banyak kutipan-kutipan yang kalau direnungkan bisa dalem banget, bahkan dari novel seri Bumi yang ternyata diperuntukkan untuk remaja

      Hapus

Posting Komentar